Antara Teks dan Kepentingan: Tafsir Hukum yang Melukai Keadilan
Oleh: Ir. Dedi Mulyadi, MM
Pendahuluan
Hukum adalah pilar keadilan yang seharusnya menjadi penengah dalam setiap konflik sosial, pelindung bagi yang lemah, dan penyeimbang kekuasaan. Namun, dalam praktiknya, teks hukum kerap ditafsirkan berdasarkan kepentingan—bukan lagi berdasarkan nilai keadilan substantif. Fenomena ini menjadi ironi dalam sistem hukum Indonesia, di mana bunyi pasal seringkali digunakan secara kaku atau bahkan fleksibel, bukan untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu.
Bab I: Teks Hukum dan Kekuatan Penafsir
Hukum tertulis, yang terdiri atas undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lainnya, seringkali dianggap sebagai kebenaran absolut. Namun, hukum tidak dapat bekerja tanpa penafsir: hakim, jaksa, dan pengacara. Mereka inilah yang menentukan arah “kebenaran hukum.” Sayangnya, proses penafsiran ini tidak jarang melenceng dari semangat keadilan karena adanya tekanan politis, konflik kepentingan, atau bahkan intervensi ekonomi.
Bab II: Kepentingan Tersembunyi di Balik Teks
Kepentingan dapat menyusup dalam berbagai bentuk:
-
Tekanan kekuasaan: Perkara yang menyentuh aktor penting atau pejabat bisa diperlakukan berbeda.
-
Transaksi hukum: Pengacara dan penegak hukum dapat saling bekerjasama melemahkan posisi tersangka/korban.
-
Penyusunan dakwaan dan tafsir pasal: Kasus administrasi bisa dibelokkan menjadi kasus pidana korupsi.
Contoh nyata: Kasus Sekwan Kota Banjar, yang seharusnya diproses sebagai kekeliruan administrasi anggaran, berujung pemidanaan. Sementara aktor utama yang seharusnya turut bertanggung jawab, tidak tersentuh.
Bab III: Ketimpangan Perlakuan Hukum
Keadilan menjadi barang mewah saat:
-
Orang kecil dihukum berat karena “niat jahat” yang belum tentu ada.
-
Pejabat tinggi dilindungi karena dianggap bagian dari sistem.
-
Proses penyidikan dilakukan dengan intimidasi terhadap keluarga korban.
-
Pengacara justru menjadi alat negosiasi politik hukum, bukan pembela keadilan.
Bab IV: Tafsir yang Melukai
Hukum yang ditafsirkan tanpa keadilan ibarat pisau yang diarahkan bukan untuk melindungi, tapi untuk melukai. Tafsir seperti ini mengikis kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
“Padahal yang kita cari bukan sekadar 'benar menurut pasal', tapi 'adil menurut nurani'.”
Bab V: Membangun Kembali Etika Hukum
Untuk mengembalikan martabat hukum, diperlukan:
-
Reformasi etika profesi hukum: Setiap penegak hukum harus dikawal integritas dan akuntabilitasnya.
-
Pembaharuan kurikulum hukum: Nilai-nilai keadilan, bukan hanya logika pasal, harus ditekankan.
-
Pengawasan publik: Transparansi dalam proses hukum adalah kontrol terbaik terhadap penyimpangan.
Penutup
Hukum tak boleh menjadi alat penindasan atau komoditas politik. Hukum yang adil bukan hanya terpaku pada teks, tetapi harus digerakkan oleh nurani. Jika tidak, kita akan terus berada di persimpangan: antara melanjutkan sistem hukum yang timpang, atau memulainya kembali dengan keberanian moral dan integritas. Kini saatnya kita bertanya, “Hukum Indonesia, mau dibawa ke mana?”
Daftar Pustaka
-
Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan.
-
Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia.
-
Komnas HAM dan ICJR, Laporan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
-
Putusan-putusan Pengadilan Tipikor, 2020–2024.
Comments
Post a Comment