Bayang-Bayang Orde Baru dalam Praktik Hukum Masa Kini

 

Bayang-Bayang Orde Baru dalam Praktik Hukum Masa Kini

Pendahuluan

Era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto meninggalkan warisan panjang dalam struktur politik, ekonomi, dan hukum Indonesia. Sistem hukum pada masa itu dikenal dengan ciri otoritarianisme, rekayasa hukum untuk kekuasaan, serta lemahnya independensi lembaga peradilan. Reformasi 1998 diharapkan menjadi titik tolak perubahan sistemik, termasuk dalam ranah hukum. Namun, dua dekade lebih setelah reformasi, masih banyak praktik hukum yang mencerminkan "bayang-bayang" masa Orde Baru: keberpihakan aparat, kriminalisasi yang dipaksakan, intimidasi terhadap tersangka dan keluarganya, serta tafsir hukum yang tak jarang mencederai keadilan substantif.

Makalah ini membahas bagaimana sisa-sisa praktik hukum Orde Baru masih berpengaruh di masa kini, serta refleksi atas beberapa kasus hukum aktual sebagai cermin keadilan yang belum merata.


I. Hukum di Era Orde Baru: Alat Kekuasaan, Bukan Keadilan

Pada masa Orde Baru, hukum sering digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan pemerintah. Lembaga-lembaga hukum dikendalikan dari pusat, dan keputusan-keputusan hukum seringkali telah diarahkan sejak awal. Ciri utama hukum Orde Baru antara lain:

  • Intervensi Kekuasaan Eksekutif: Presiden, TNI, dan aparat intelijen memiliki pengaruh besar terhadap aparat penegak hukum.

  • Kriminalisasi Politik: Para oposisi dan aktivis sering dijerat dengan pasal-pasal karet.

  • Pengabaian Asas Due Process of Law: Tersangka sering diputuskan bersalah bahkan sebelum proses persidangan berlangsung.


II. Hukum Masa Kini: Reformasi Setengah Hati?

Pasca-reformasi, Indonesia membentuk institusi-institusi baru seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial, serta Mahkamah Konstitusi sebagai wujud komitmen pada reformasi hukum. Namun kenyataannya, masih banyak kasus yang menunjukkan adanya residu praktik Orde Baru:

  • Kriminalisasi melalui Administrasi: Kesalahan prosedural atau teknis administratif diseret ke ranah pidana, seperti kasus Sekwan Kota Banjar, Andin Taryota di KKP, dan beberapa pejabat lain.

  • Intervensi Jaksa dan Pengacara terhadap Keluarga Korban/Tersangka: Muncul tuduhan bahwa jaksa atau pengacara bekerja sama untuk “mempengaruhi” hasil persidangan atau menekan pihak keluarga.

  • Ketimpangan Akses terhadap Keadilan: Hukum menjadi tajam ke bawah, tumpul ke atas. Rakyat kecil atau birokrat non-elite menjadi kambing hitam dalam sistem yang carut-marut.


III. Studi Kasus: Sekwan Kota Banjar dan Praktik Hukum yang Berulang

Kasus Sekretaris DPRD Kota Banjar yang dijadikan tersangka atas dugaan penyelewengan tunjangan rumah anggota dewan menunjukkan bagaimana aparat penegak hukum bisa secara sepihak menentukan "korban administrasi" sebagai pelaku pidana. Padahal, secara fungsional dan struktural, tanggung jawab atas tunjangan ada pada banyak pihak: DPRD, Badan Keuangan Daerah, dan Pemerintah Kota. Jika dilihat secara adil, Sekwan hanyalah pelaksana teknis kebijakan yang telah disetujui.

Namun, penetapan Sekwan sebagai tersangka mengesankan adanya skenario hukum yang dikondisikan, mirip dengan praktik di masa lalu: mencari kambing hitam, menekan psikologis keluarga, dan menjebak dalam prosedur.


IV. Bayang-Bayang Lama: Mengapa Masih Ada?

  1. Budaya Hukum Feodal: Mentalitas aparat yang merasa lebih tinggi dari rakyat belum sepenuhnya hilang.

  2. Hukum sebagai Simbol, Bukan Etika: Banyak aparat hukum yang memahami hukum hanya sebagai teks dan prosedur, bukan sebagai alat keadilan substansial.

  3. Minimnya Akuntabilitas dan Etika Profesi: Etika profesi hukum belum dijadikan pegangan utama dalam praktik advokasi maupun penuntutan.


V. Jalan Pembaruan: Hukum yang Berpihak pada Keadilan

Untuk keluar dari bayang-bayang Orde Baru, perlu upaya serius dalam:

  • Penguatan Etika Profesi Hukum: Penegak hukum harus memiliki integritas moral, bukan sekadar kompetensi legalistik.

  • Reformasi Kurikulum Pendidikan Hukum: Pendidikan hukum harus mengintegrasikan dimensi keadilan sosial, etika, dan psikologi hukum.

  • Peningkatan Transparansi Penegakan Hukum: Setiap proses hukum harus dapat dipantau publik, dengan pengawasan ketat terhadap jaksa, hakim, dan pengacara.


Kesimpulan

Hukum seharusnya menjadi jalan keadilan, bukan panggung peran yang menindas. Meski secara formal Indonesia telah meninggalkan Orde Baru, namun secara substansi, praktik hukum masih banyak yang mereproduksi sistem lama. Kriminalisasi administratif, tekanan psikologis terhadap keluarga tersangka, hingga kerja sama manipulatif antar-pengacara dan jaksa, mencederai cita-cita reformasi hukum.

Sudah saatnya Indonesia menata ulang sistem hukumnya: dari hukum sebagai alat kuasa menjadi hukum sebagai rumah keadilan. Hanya dengan keberanian untuk jujur dan adil, bangsa ini bisa benar-benar merdeka secara hukum.


Daftar Pustaka

  • Hadjon, Philipus M. (1997). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press.

  • Lindsey, Tim. (2008). Indonesia: Law Reform and Legal Culture. Indonesian Law Journal.

  • Mahfud MD. (2009). Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. LP3ES.

  • Kompas.com & Tempo.co. (2023–2025). Laporan berbagai kasus hukum aktual di Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

EVALUASI PERKEMBANGAN MAJOR PROJECT KORPORASI PETANI TAHUN 2020

Sajak Sufi Sunda: “Leumpang Dina Kalurugan Cahaya”