Di Persimpangan Jalan: Hukum di Indonesia Mau Dibawa ke Mana?
Di Persimpangan Jalan: Hukum di Indonesia Mau Dibawa ke Mana?
Kata Pengantar
Hukum adalah fondasi utama dalam tegaknya keadilan, kesejahteraan, dan ketertiban dalam sebuah bangsa. Indonesia, sebagai negara hukum yang demokratis, seharusnya menjadikan supremasi hukum sebagai pilar utama dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun realitasnya, hukum seringkali tersesat di persimpangan jalan. Kasus-kasus seperti kriminalisasi administratif, intimidasi terhadap korban, serta campur tangan kuasa politik dan uang dalam proses hukum, menjadi pertanyaan besar: Mau dibawa ke mana hukum di Indonesia?
Makalah ini mencoba menyajikan refleksi kritis terhadap kondisi hukum Indonesia hari ini, berdasarkan berbagai kasus aktual dan pendekatan filosofis, sosiologis, serta yuridis.
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum di Indonesia telah banyak mengalami reformasi sejak tumbangnya rezim Orde Baru. Namun, keberpihakan hukum pada keadilan substantif masih menjadi problematika mendasar. Kasus-kasus seperti Sekwan Kota Banjar yang diposisikan sebagai tersangka dalam urusan tunjangan, atau Andin Taryoto di Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dihukum atas dasar kesalahan administratif, mengungkapkan bahwa hukum masih kerap digunakan sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai pelayan keadilan.
1.2 Rumusan Masalah
-
Apakah hukum di Indonesia saat ini sudah mencerminkan keadilan substantif?
-
Siapa saja yang rentan menjadi korban dalam proses hukum yang tidak adil?
-
Bagaimana peran jaksa, pengacara, dan institusi hukum dalam proses pembentukan kebenaran?
-
Mau dibawa ke mana arah hukum di Indonesia ke depan?
1.3 Tujuan
-
Menganalisis kondisi hukum Indonesia kontemporer.
-
Menggali bentuk-bentuk penyimpangan proses hukum.
-
Menyuarakan pentingnya reformasi etika dalam profesi hukum.
-
Menawarkan refleksi dan solusi menuju sistem hukum yang lebih adil.
BAB II: HUKUM SEBAGAI ALAT KEADILAN ATAU KEKUASAAN?
2.1 Idealitas dan Realitas Hukum
Konsep hukum ideal adalah lex semper dabit remedium — hukum selalu memberikan perlindungan. Namun, dalam realitas, hukum kerap menjadi alat kekuasaan (law as a tool of power) di tangan pihak-pihak yang memiliki akses dan kepentingan.
2.2 Kasus Sekwan Kota Banjar
Dalam kasus tunjangan perumahan DPRD Kota Banjar, Sekwan menjadi satu-satunya pihak yang dijadikan tersangka, padahal tunjangan itu bagian dari struktur anggaran yang diketahui oleh berbagai pihak: TAPD, Banggar, DPRD, hingga wali kota. Proses hukum seperti ini menunjukkan bias dalam penetapan tersangka, serta membuka ruang bagi upaya kriminalisasi struktural terhadap pejabat administratif.
BAB III: KASUS-KASUS YANG MEMUNCULKAN TANDA TANYA
3.1 Andin Taryoto dan Kriminalisasi Administrasi
Kasus ini memperlihatkan bagaimana kesalahan administratif bisa dijadikan dasar pidana. Hal ini berbahaya karena dapat membungkam inovasi dan kebijakan publik. Padahal, tidak semua kesalahan birokrasi layak menjadi kasus korupsi. Perlu pemisahan antara kesalahan administratif dan niat jahat koruptif (mens rea).
3.2 Praktik Intimidasi Terhadap Keluarga Korban
Banyak pihak melaporkan bahwa jaksa maupun pengacara kadang melakukan pendekatan dengan cara intimidatif terhadap keluarga tersangka: menyarankan pengakuan, memaksa kerjasama, bahkan menjanjikan keringanan jika bekerja sama. Etika hukum pun dipertanyakan ketika pengacara justru menjadi bagian dari tekanan terhadap klien atau keluarganya.
BAB IV: AKTOR-AKTOR HUKUM DI PERSIMPANGAN MORALITAS
4.1 Jaksa: Antara Penegak dan Pemaksa
Jaksa sebagai pengendali perkara seharusnya netral, namun kerap berperan sebagai "pendakwa tunggal" yang mengarahkan hasil penyidikan ke arah tertentu, seringkali tanpa bukti cukup. Posisi dominan ini menjadikannya sebagai pengendali kebenaran versi negara.
4.2 Pengacara: Pelindung Klien atau Kolaborator Sistem?
Dalam beberapa kasus, pengacara justru menjadi perpanjangan tangan kekuasaan hukum. Bukannya melindungi klien, mereka malah ikut mengintimidasi, memanfaatkan ketidaktahuan hukum, dan mendorong untuk menerima dakwaan atau perjanjian tertentu dengan iming-iming "keringanan".
BAB V: MAU KE MANA HUKUM INDONESIA?
5.1 Jalan Tengah: Kembali ke Etika Hukum
Reformasi hukum tidak hanya soal lembaga, tapi juga soal karakter. Etika profesi hukum harus ditegakkan, dan masyarakat sipil perlu mengawal proses-proses hukum agar tidak tersandera oleh kepentingan politik dan ekonomi.
5.2 Peran Masyarakat dan Media
Transparansi hukum sangat bergantung pada partisipasi aktif masyarakat dan media. Kasus-kasus yang ditutupi harus dibuka. Advokat yang melanggar etika harus dilaporkan. Jaksa dan hakim yang tidak adil harus diawasi.
5.3 Supremasi Hukum yang Substantif
Negara hukum yang adil harus menegakkan keadilan substantif, bukan hanya legal-formal. Kesalahan administratif jangan dikriminalisasi. Mereka yang bekerja tulus jangan dihancurkan oleh prosedur yang kaku dan manipulatif.
BAB VI: PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Indonesia tengah berada di persimpangan jalan hukum. Di satu sisi, ada harapan akan reformasi dan keadilan. Di sisi lain, ada kenyataan suram tentang penyalahgunaan hukum. Kita perlu memilih: apakah hukum akan tetap menjadi alat kekuasaan, atau berubah menjadi pilar keadilan?
6.2 Rekomendasi
-
Perluas pendidikan hukum masyarakat agar rakyat tidak mudah ditekan oleh proses hukum.
-
Perkuat pengawasan terhadap aparat hukum, termasuk jaksa, hakim, dan advokat.
-
Pisahkan secara tegas antara kesalahan administratif dan korupsi dalam penegakan hukum.
-
Dorong transparansi dan partisipasi masyarakat dalam setiap proses penegakan hukum.
Daftar Pustaka
-
Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif: Hukum untuk Manusia. Kompas, 2008.
-
Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Rajawali Pers, 2009.
-
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
-
Putusan-putusan Pengadilan Tipikor RI
-
Media daring: Tempo.co, Kompas.com, Detik.com (2023–2025)
Comments
Post a Comment