Dramaturgi Hukum: Ketika Jaksa, Pengacara, dan Hakim Bermain Peran

 

Dramaturgi Hukum: Ketika Jaksa, Pengacara, dan Hakim Bermain Peran

Oleh: Ir. Dedi Mulyadi, MM


Pendahuluan

Hukum idealnya adalah panglima kebenaran yang membela keadilan tanpa pandang bulu. Namun dalam praktiknya, panggung pengadilan tidak jarang menyerupai panggung teater, di mana aktor-aktornya—jaksa, pengacara, dan hakim—memainkan peran bukan semata demi keadilan, melainkan demi kepentingan masing-masing. Perspektif ini mengingatkan kita pada teori dramaturgi dari Erving Goffman, yang menggambarkan kehidupan sosial sebagai panggung sandiwara. Jika demikian, apakah hukum kita masih bersandar pada kejujuran, atau telah terperangkap dalam sandiwara kepentingan?


Bab 1: Panggung Peradilan sebagai Teater Sosial

Dalam kerangka dramaturgi, setiap individu memainkan peran berdasarkan skrip sosial yang mereka miliki. Dalam dunia hukum, panggung ini adalah ruang sidang. Di sana, jaksa berperan sebagai penuntut kejahatan, pengacara sebagai pembela, dan hakim sebagai wasit. Namun di balik layar, bisa saja terdapat rekayasa narasi, tawar-menawar kekuasaan, dan pertimbangan yang tidak selalu bersumber dari hati nurani hukum.


Bab 2: Jaksa sebagai Pemeran Penuntut — Antara Keadilan dan Tekanan Atasan

Jaksa idealnya adalah penegak hukum independen. Namun, dalam realitas birokrasi dan politik, posisi jaksa bisa sangat rentan terhadap tekanan dari atasan atau pihak eksternal. Dalam beberapa kasus, jaksa lebih berfokus pada upaya memenangkan perkara dibanding menegakkan kebenaran. Ada pula kecenderungan “membidik orang, lalu mencari kesalahan”—sebuah ironi besar dalam sistem keadilan.


Bab 3: Pengacara sebagai Aktor Ganda

Pengacara adalah penjaga hak asasi tersangka. Tetapi dalam praktiknya, tak sedikit pengacara yang justru terlibat dalam permainan kotor: menawarkan “jalan damai”, berkolusi dengan jaksa atau hakim, atau malah memanfaatkan klien sebagai komoditas hukum. Kepercayaan publik terhadap profesi ini pun tergerus karena kesan bahwa pengacara bisa "membeli hukum" bagi klien yang kaya atau berkuasa.


Bab 4: Hakim dan Dilema Netralitas

Hakim seharusnya netral dan menjadi wakil suara keadilan. Namun kekuasaan untuk memutus terkadang membuka celah penyalahgunaan. Putusan bisa dipengaruhi tekanan politik, uang, atau agenda pribadi. Ketiadaan transparansi dalam majelis hakim menambah kecurigaan publik bahwa “palunya” tidak selalu mewakili hukum yang adil, tetapi hasil dari kompromi di balik layar.


Bab 5: Kasus-Kasus Simbolik Dramaturgi Hukum

Sejumlah kasus menunjukkan indikasi peran-peran yang dimainkan bukan untuk menegakkan hukum, tetapi demi skenario tertentu:

  • Kasus Sekwan Kota Banjar: pejabat yang tampak jadi korban dari pembacaan hukum yang tidak proporsional.

  • Kasus administratif seperti Andin Taryota yang dipidanakan dalam kerangka hukum korupsi.

  • Tindak intimidasi keluarga tersangka oleh oknum penegak hukum untuk mendukung narasi tertentu.

Semua ini menunjukkan adanya kecenderungan kriminalisasi atau pembentukan “tokoh jahat” agar cerita hukum bisa dipentaskan rapi sesuai skrip.


Bab 6: Hukum, Media, dan Publik sebagai Penonton

Media sering kali menjadi alat penyiar narasi hukum yang telah dibentuk. Kasus belum diputus, tetapi opini publik sudah diarahkan. Ruang pengadilan tak hanya di ruang sidang, tetapi juga di ruang media dan ruang digital. Penonton—masyarakat—menjadi bagian dari dramatisasi, sering kali tanpa akses terhadap kebenaran sesungguhnya.


Bab 7: Menuju Hukum yang Jujur, Bukan Sekadar Aktor yang Mahir

Hukum harus kembali kepada fitrahnya sebagai penjaga keadilan, bukan panggung sandiwara. Setiap aktor dalam sistem hukum harus menanggalkan topeng dan memainkan peran yang otentik: bukan untuk pertunjukan, tetapi untuk mengabdi kepada kebenaran. Pendidikan etika hukum, pembenahan sistem karier, pengawasan independen, dan pelibatan masyarakat sipil menjadi keniscayaan.


Epilog: Saatnya Mematikan Lampu Panggung

Dramaturgi hukum hanya akan berakhir bila semua pihak menolak bermain peran demi kepentingan, dan memilih menjadi manusia hukum yang jujur. Bukan aktor, tetapi pelayan keadilan. Indonesia layak memiliki hukum yang tidak tampil memukau, tetapi benar dan adil.


Daftar Pustaka (Contoh)

  • Goffman, Erving. The Presentation of Self in Everyday Life. Penguin Books, 1959.

  • Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif: Hukum untuk Manusia. Kompas, 2009.

  • Komnas HAM. Laporan Tahunan 2024.

  • ICW. Tren Penegakan Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, 2023.

  • Putusan MA dan Tipikor berbagai kasus terkini.

Comments

Popular posts from this blog

EVALUASI PERKEMBANGAN MAJOR PROJECT KORPORASI PETANI TAHUN 2020

Sajak Sufi Sunda: “Leumpang Dina Kalurugan Cahaya”